Mufasyahnews.com, Makassar – Sulawesi Tenggara, sebuah daerah yang terletak di bagian selatan khatulistiwa, membentang dari utara ke selatan di antara Laut Flores dan Banda hingga Teluk Bone. Daerah ini dikenal memiliki potensi agraria dan maritim yang melimpah, dengan berbagai spesies yang beraneka ragam, serta sumber daya energi seperti nikel, emas, dan aspal yang berlimpah, Jumat (7 Juni 2024).
Namun, untuk memaksimalkan kontribusi sumber daya alam ini, diperlukan percepatan pembangunan yang komprehensif dan tidak tumpang tindih, terutama dalam hal regulasi kewenangan daerah dan pusat. Peningkatan kesejahteraan rakyat harus menjadi prioritas utama. Saat ini, terdapat lebih dari 300 izin usaha tambang di Sulawesi Tenggara, menunjukkan potensi besar yang bisa dimanfaatkan untuk pembangunan ekonomi.
Negara-negara maju menjadikan darat, laut, dan udara sebagai matra untuk meningkatkan kemakmuran rakyat melalui konsep pemerataan dan pertumbuhan ekonomi. Indonesia, khususnya Sulawesi Tenggara, juga bisa menerapkan konsep serupa dengan menyelaraskan politik lokal dan konsep pembangunan nasional.
Sulawesi Tenggara memiliki potensi besar untuk menjadi pusat energi dunia, namun hal ini membutuhkan grand design yang baik dan sinkronisasi antara pusat dan daerah. Konversi menjadi energi baru terbarukan (EBT) harus diutamakan untuk menjadikan Sulawesi Tenggara sebagai jalur perdagangan dunia dan sentral energi.
Selain itu, gagasan City of Port perlu digalakkan agar Sulawesi Tenggara dapat memperoleh eksistensi sebagai pusat energi dan jantung perdagangan dunia yang memiliki nilai global. Kolaborasi dan dukungan antar pihak adalah kunci untuk menghadirkan Sulawesi Tenggara yang maju dan Indonesia yang bermartabat sesuai cita negara.
Dalam praktik kenegaraan, perlu diperhatikan hukum dan etika lingkungan (environmental ethic) sebagai langkah penguatan regulasi dan pijakan implementasi. Peraturan Presiden No. 32 tahun 2011 tentang Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) masih mengedepankan investasi industri pertambangan, padahal potensi agraris dan maritim belum mendapatkan perhatian khusus.
Jika Indonesia dapat memanfaatkan potensi EBT dengan optimal dan menggunakan teknologi yang tepat, cita-cita untuk meninggalkan energi fosil bisa terwujud. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional, pada tahun 2025 diharapkan peran batubara dalam bauran energi nasional turun menjadi 30%, dan pada tahun 2050 menjadi 25%. Pemerintah telah menetapkan target net-zero pada tahun 2060.
Sulawesi Tenggara hanya terfokus pada eksplorasi energi konservatif seperti nikel, aspal, dan emas. Padahal, banyak potensi lain yang bisa dikembangkan seperti angin, matahari, dan gelombang air laut. Dengan mengembangkan energi listrik dari EBT, permintaan listrik akan meningkat dan memantik munculnya fasilitas energi baru terbarukan yang lebih efisien.
Dalam upaya percepatan pembangunan dan mengatasi krisis pangan dan energi, Masterplan Potensi Sulawesi Tenggara harus dikontruksi dengan detail dan menjadi agenda prioritas nasional. Percakapan di ruang publik harus diwarnai oleh fungsi kekuasaan negara dengan melihat tinjauan geopolitik dan geostrategis agar Sulawesi Tenggara dapat menjadi pusat energi dunia yang mampu membawa Indonesia lebih maju.
Dengan demikian, investasi EBT bukan hanya soal Indonesia hari ini, tetapi juga bagaimana kebijakan tersebut akan berdampak positif dan jangka panjang bagi generasi mendatang.
Oleh: Vicram Bunta, Pemerhati Hukum Tata Negara Lahir di Kaledupa, Kab. Wakatobi, 13 Januari 2001, Vicram Bunta adalah Pemerhati Hukum Tata Negara dan Mahasiswa Fakultas Hukum di Universitas Muslim Indonesia dengan konsentrasi studi Hukum Tata Negara. (M.YF)