Mufasyahnews.com, Makassar – Arus deras teknologi informasi sebuah keniscayaan untuk ditolak oleh siapapun. Begitupun saat era digitalisasi diranah penyiaran hadir di negeri ini. Melalui pasal 72 UU No.11/2020 tentang cipta kerja ditambahkan pasal 60A pada UU No.32/2002 tentang penyiaran, dimana disebutkan: “Penyelenggaraan penyiaran dilaksanakan dengan mengikuti perkembangan teknologi, termasuk migrasi penyiaran dari teknologi analog ke teknologi digital”. Menjadi titik dasar hukum dimulainya proses migrasi penyiaran ke era digital.
Meski Indonesia termasuk negara yang terlambat menerapkan penyiaran digital, penghentian siaran analog (Analog Swicth Off / ASO) tetap dituntaskan pemerintah. Penggantian transmisi analog ke digital diyakini pemerintah akan memberi manfaat dalam dunia penyiaran. Diantaranya menciptakan efisiensi pemakaian spektrum frekuensi, menghemat bandwidth, kebal terhadap gangguan atau noise dan dilengkapi sistem yang mampu memperbaiki kesalahan pengiriman data akibat gangguan noise yang disebut FEC (Forward Error Correction) sehingga informasi yang diterima utuh kembali (error free).
Selain itu, kualitas siaran khususnya televisi digital akan lebih optimal. Digitalisasi penyiaran akan membuat frekuensi bisa ditata ulang dan dimanfaatkan untuk layanan lain seperti internet cepat. Pita frekuensi yang sebelumnya digunakan untuk siaran televisi tersebut dapat mendukung internet kecepatan tinggi. Program penghentian siaran khususnya televisi analog akan mendorong keberagaman konten dari industri penyiaran dalam negeri.
Pemerintah dalam hal ini Kemkominfo bersama Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) termasuk KPID Sulsel memiliki kewajiban untuk mempersiapkan regulasi yang mengatur teknis pelaksanaan digitalisasi penyiaran. Diantaranya tentang proses perijinan, tata kelola siaran, tanggung jawab lembaga penyiaran maupun pengelola multipleksing, serta pengawasan penyiaran digital.
Disamping itu pembuatan roadmap (peta jalan) penyiaran nasional wajib dilakukan dan dimantapkan implementasinya.
Bukan sekedar menyajikan mimpi utopis khususnya bagi penyiaran lokal. Tentunya dengan pendekatan komunikasi partispatoris, yaitu terbuka dan melibatkan seluruh pemangku kepentingan, khususnya masyarakat. Ini juga yang menjadi salah satu tugas dari Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) terkhusus KPID Sulsel dalam masa penerapan digitalisasi ini harus juga memastikan eksistensi penyiaran (televisi dan radio) lokal.
Penyiaran digital bukan sekedar perintah undang-undang semata, tetapi juga bagaimana kehadiran digitalisasi tidak membuat penyiaran lokal tersisih bahkan mati. Switch Off penyiaran analog ke digital harusnya mampu memberikan peluang dan ruang yang lebih lebar dengan kebijakan dan tatakelola sistem penyiaran digital yang tidak ribet dan birokratis serta berbiaya mahal. Ibaratnya, penyiaran lokal bagaikan sektor UMKM jangan disamakan dengan pelaku usaha korporasi yang miliki modal besar dan akses privilege dari pemerintah.
KPI, KPID dan Kemenkominfo wajib menuntaskan hambatan dan keresahan ini agar penyiaran lokal bisa bertumbuh dan berdayasaing dengan beragam konten siaran nasional grup korporasi. Beri ruang penyiaran lokal mendapatkan kemudahan untuk bisa bersiaran di layanan penyiaran digital. Membantu proses pemberdayaan sebagai upaya meningkatkan kualitas dan kreativitas SDM penyiaran lokal. Dengan begitu, konten siaran yang dibuat menjadi bagus sehingga akan tercipta simbiosis mutualisme yang produktif.
Era digitalisasi penyiaran harus bisa menciptakan peluang bagi insan penyiaran khususnya penyiaran lokal setidaknya di sektor politik, migrasi teknologi, dan dampak ekonomi. Disektor politik, kebijakan untuk migrasi dari siaran analog ke digital ini merupakan bentuk demokratisasi dalam industri penyiaran, karena akan terjadi keberagaman kepemilikan lembaga penyiaran dan konten. Alih teknologi juga menjadi daya dukung garansi kualitas siaran dengan kehadiran teknologi yang lebih baik. Sementara peluang di sektor ekonomi, tentu saja berpotensi akan membuka lapangan kerja disamping kue iklan yang dinikmati juga penyiaran lokal.
Oleh: Muhammad Idris
Dosen Ilmu Komunikasi UMI