Oleh : Abd. Majid, S.Sos.I., M.Si
Dosen Ilmu Komunikasi Fakultas Sastra UMI
Mufasyahnews.com, Makassar – Ketika memaknai Ramadan sebagai bulan teristimewa, maka akan menjadi jembatan spritualitas yang menghubungkan realitas kehidupan dengan kecerdasan Ilahiyah yang marifat. Ramadan bulan mulia yang tidak ada satupun yang menyangsikannya bulan diturunkannya Alqur’an oleh Allah Maha Mulia, sehingga Ramadan menjadi mulia Sayyidu Suhur, wahyu yang dibawah melaikat Jibril disebut Sayyidul Mailakat, kepada Nabi Muhammad Saw yang sangat Mulia disebut dengan Sayyidul Anbiyai penghulu para Nabi, diturunkan Al quran pada satu malam yang sangat mulia yaitu malam Nuzulul Qur’an atau Lailatul qadar yang lebih baik daripada seribu bulan atau 85 Tahun lamanya.
Pesan komunikasi transendentalnya Puasa Ramadan dimulai dengan diturunkanya QS Al-Baqarah ayat 183 “Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang sebelum kamu agar kamu bertakwa”
Taqwa merupakan kesejajaran antara “ iman “ dan tali hubungan dengan Allah sebagai bentuk dimensi komunikasi vertikal pola hidup yang benar, menjadikan Al Quran sebagai petunjuk bagi mereka yang bertaqwa dalam surat Al Baqarah ayat 3-4 (yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat, dan menafkahkan sebahagian rezeki yang Kami anugerahkan kepada nya, dan mereka yang beriman pada (Al-Qur’an) yang diturunkan Nabi Muhammad dan kitab-kitab suci yang telah diturunkan sebelum engkau dan mereka yakin akan adanya akhirat.
Dari kelima unsur yang menjadi indikasi ketaqwaan itu, unsur pertama yaitu keyakinan pada yang Gaib sebagai tekanan utama penanaman dan peneguhannya melalui puasa ibadah yang paling pribadi, personal atau privat tanpa kemungkinan bagi orang lain untuk dapat sepenuhnya melihat, mengetahui, apalagi, menilai keikhlasan yang berpuasa sebagaimana Hadis Qudsi (Sabda Allah dengan pengkalimatan pada Nabi Saw) yang menuturkan firman Allah “, Puasa dalah unttukku semata dan Akulah yang akan menanggung pahalanya” maknanya tidak ada yang tahu bahwa seseorang berpuasa selain dirinya dan Allah, namun orang itu tidak perlu khawatir jika puasanya tidak diketahui orang lain atau orang lain menduga bahwa dia diketahui tidak berpuasa karena Tuhanlah yang menaggung pahalanya,
Berbeda dengan ibadah shalat yang dianjukan dikerjakan secara bersama atau berjamaah, zakat boleh dipamerkan agar tujuan sosialnya tercapai, Haji juga demikian bisa disaksikan satu kampung. Sementara orang berpuasa dapat sebenarnya membatalkan kapan saja saat karena ibadah yang abstrak, namun rela menahan lapar dahaga dan kebutuhan biologisnya, yang bisa saja dilaksanakan secara tersebunyi ketika tidak dilihat orang lain, namun itu tidak terjadi, mengapa? Jawabanya karena orang yang berpuasa memiliki keyakinaan bahwa Tuhan selalu menyertainya, melihatnya dan mengawasinya, mereka yang berpuasa dan tidak akan melanggar suatu larangannya, ini adalah hakekat komunikasi Transendental.
Komunikasi yang berfungsi karena secara gaib, Tuhan menyaksikan segala seseatunya dalam QS: Qaf Ayat 18 “tidak ada suatu kata pun yang terucap, melainkan ada di sisinya malaikat pengawas yang selalu siap (mencatat)” Maka spirit itu akan mengingatkan agar manusia selalu menjaga prinsip akurasi dalam berkomunikasi menghidarkan manusia untuk mengucapkan komunikasi yang buruk karena kelak pasti aka nada pertanggung jawaban.
Dimensi komunikasi spritualitas bisa dilihat dari dampak komunikasinya, di mana manusia yakin pada kebenaran pesan dalam komunikasi transendental tersebut. Manusia dengan ikhlas kemampuan menahan segala bentuk kecenderungan materialisme dan hedonisme yang bersumber pada perut dan dibawah perut atau hawa nafsu Nabi ketika ditanya” tentang yang memasukkan manusia dalam neraka jawabannya adalah mulut dan dibawah mulut alias kemaluan.
Dalam literatur Kesufian ditemukan sembilan pintu hawa nafsu yang ada dalam diri setiap manusia: satu pintu mulut, dua pada hidung, dua pada mata, dua pada telinga dan satu pada kemaluan dan satu pada dubur, sehingga sia-sialah puasanya orang yang tidak sanggup menahan dirnya dari segala yang membatalkan puasa karena sumber nafsu tersebut termasuk melakukan tindakan, penipuan, omongan palsu, gibah, fitnah, sikap menyakiti orang lain baik secara langsung mupun melalui media sosial.
Bulan Ramadan mendidik Rohani manjadi Imam yang membimbing jasmaniah dalam keinsafan mendalam akan kehadiran Allah Swt dalam hidup sebagai moralitas tertinggi, puasa merupakan ibadah zirriyah yang tahu hanya pelaksana dan Tuhan dan tidak mudah terkena penyakit riya, namun melahirkan karakter, budi pekerti tinggi atau ahlakul karimah sebagai bentuk keyakinan bahwa puasa mengajarkan hal itu, bahwa Nabi Muhammad Saw bersabada bahwa yang paling banyak menyebabkan manusia masuk syurga ialah Taqwa dan budi pekerti yang luhur. Aktivitas ibadah dan meningkatkan perasaan keriduan yang hakiki untuk selalu berjumpa dengan Allah yang didapatkan oleh orang-orang yang beriman dibulan ini.
Ketika ramadan ini membangun keharmonisan komunikasi dengan Allah Swt, maka tentu juga komunikasi dalam berkehidupan sosial akan terjadi keharmonisan, setiap insan yang berpuasa meningkatkan kepekaan sosial bagi kaum duafaa, kepekaan dalam berbagi keberkahan kepada saudara yang kurang mampu dan kurang beruntung diantara manusia yang lain. (dipadukan dari berbagai referensi).